Tuesday, November 22, 2011

Kisah Sejati

Nuryati Solapari 'Cukup Sekali Menjadi TKI'
Bagi Nuryati, menjadi TKI ke Arab Saudi cukup sekali. Prinsipnya, pekerjaan itu menjadi batu loncatan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Maka ia berujar, jika menjadi TKI adalah satu-satunya pilihan, setiap orang harus punya rencana.

kisah sejati
Itulah semangat yang ingin ditularkan Nuryati Solapari. Ia adalah mantan pembantu rumah tangga di Arab Saudi yang kemudian menjadi dosen di Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Kini, perempuan yang akrab disapa Teh Nur oleh para TKI ini ingin membuktikan bahwa mantan TKI pun bisa menjadi profesor. Ia ingin, semangat itu dimiliki pula oleh para TKI lainnya.

Maka di tengah kesibukannya sebagai pengajar hukum, mahasiswa S3, juga seorang ibu dari 3 anak tanpa pembantu, Nur yang juga terlibat di lembaga bantuan hukum Universitas Tirtayasa selalu menyempatkan diri berkeliling desa, menyapa dan menjumpai para calon ataupun mantan TKI. Tujuannya, menularkan motivasi dan berbagi informasi seputar perlindungan TKI. 

Begitupun pada Senin, 11/7. Ini adalah hari pertama ujian di kampus Untirta. Maka Nuryati yang hanya kebagian jaga ujian malam, memanfaatkan waktu siangnya untuk menjumpai warga desa Pontang. Nuryati ingin mewujudkan rencannanya, membuat Koperasi TKI. Di sela jadwalnya yang padat, sebelum menjaga ujian akhir itulah, Nuryati berkenan menjumpai WI dan membagi kisahnya untuk Anda.

Lulusan Terbaik Harusnya Bahagia
Namaku Nuryati Solapari, sulung dari 6 bersaudara. Aku lahir di Banten pada 2 Juni 1979. Keluargaku termasuk golongan miskin. Ayahku hanyalah seorang pegawai administrasi di Pemda, sementara ibu hanya merawat anak-anak di rumah.

Sejak SD, bisa dibilang aku cukup berprestasi. Waktu SMA, dari kelas 1 sampai kelas 3, aku selalu juara umum. Pada saat kelulusan, tahun 1998, aku dinyatakan sebagai lulusan terbaik. Tentu menjadi prestasi yang membanggakan. Tapi karena kondisi ekonomi keluarga, peristiwa ini justru menyedihkan. Saat itu banyak teman bertanya, ‘Mau melanjutkan kemana?’ Aku bingung menjawabnya. Ada yang bicara secara halus, ada yang berbisik, ‘Masak lulusan terbaik tidak melanjutkan!’.

Makanya ketika yang lain foto-foto segala macam, aku ajak ayahku pulang. Sebenarnya dapat beasiswa. tapi karena kurangnya informasi, keluarga juga tidak ada yang kuliah, ya tidak tahu bahwa kuliah itu bisa sambil kerja. Apalagi informasinya waktu itu beasiswa hanya untuk 1 tahun. Berikutnya biaya kuliahku bagaimana?

Awalnya Benci TKI
Sebetulnya lulus SMA saja sudah menjadi yang paling tinggi di kampungku saat itu. Karena desa Samparwadi, Tirtayasa itu memang identik dengan orang miskin dan bodoh. Sehingga aku berpikir, aku harus kuliah. Sejak itu aku sering melamun. Rasanya sedih, stres, dan putus asa. Tapi kalau itu aku perlihatkan di depan orang tua, pasti mereka kian sengsara. Tidak lama kemudian ada teman-teman yang baru pulang dari Arab. Aku langsung terpikir, ‘Kenapa tidak jadi TKI saja?’

Sebelumnya sama sekali tak terpikir. Bahkan aku benci dengan kata TKI. ‘Kenapa sih pada jadi TKI, tidak takut dianiaya apa?’ Begitu pikirku. Karena memang kampungku itu termasuk basis TKI dan banyak cerita menyedihkan di situ. Ada yang tidak digaji, dianiaya, sehingga menjadi gila dan sebagainya. Makanya dulu aku yang sering mengingatkan teman-teman, ‘Kayak tidak ada pekerjaan saja di Indonesia.’ Eh tapi pada akhirnya itu menimpaku.

Saat itu orang pada bertanya, ‘Nur, kenapa kamu ingin jadi TKI?’ Aku bilang, ‘Ingin kuliah.’ Kata mereka, ‘Di Arab itu kerja susah. Masak dapat uang hanya untuk kuliah. Itu kan habis.’ Intinya mereka tidak percaya lah. Apalagi adikku masih kecil-kecil, orang tua tidak punya, rumah saja ibaratnya masih ngontrak. 


Tapi hal itu semakin membuat aku nekat untuk membuktikan diri. Akhirnya aku menghubungi calo, seperti yang lain. Karena dinas tenaga kerja memang tidak menjangkau ke kampung-kampung kan. Akhirnya, tahun 1998 itu jugalah aku berangkat ke penampungan.


Orang tua tentu saja menentang. Kata ayahku, ‘Sudahlah, kerja di Pemda saja. Ngapain jadi TKI? Malu-maluin saja.’ Sementara ibu, walau lebih lembut awalnya juga melarang. Katanya, ‘Nanti bagaimana di sana? Kalau dianiaya? Apa kamu tidak takut mati?’ Aku bilang, kematian seseorang di tangan Allah Bu.’
Begitulah aku tetap bersikeras. Karena aku ingin kuliah. Akhirnya orang tua dengan sedih bilang, ‘Ya sudah, kalau mau berangkat. Memang kami tidak bisa membiayai kuliahmu.’


No comments: